Laman


Design awesome banner
 ads like this one FREE at AdDesigner.com

Minggu, 02 Januari 2011

Pemikiran Hukum A. Hassan

1. Pendahuluan


A. Hassan merupakan pemikir muda dengan gagasan segar yang tergolong kontroversial. Pemikiran A. Hassan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini bisa dilihat ketika melihat latar belakang budaya dan pendidikannya ketika kecil di Singapura yang lebih banyak bergelut dengan pemikiran Islam ortodoks. Kondisi tersebut berubah drastis ketika A.Hassan berinteraksi dengan para pemikir muda, seperti Faqih Hasyim dari Surabaya yang pola pikirannya bercorak salafi.

Bukan hanya pergulatan pemikiran individu yang mempengaruhi pemikiran A. Hassan, melainkan juga faktor lingkungan dan pergaulan, khususnya ketika beliau tinggal untuk beberapa lama di Bandung. Di sana, beliau banyak berinteraksi dengan H. Zamzam dan Mohammad Yunus yang memiliki organisasi bernama Persis. A.Hassan masuk Persis terhitung tiga tahun setelah berdirinya Persis yaitu tahun 1926 sedangkan Persis lahir pada tanggal 11 September 1926. dalam organisasi tersebut A.Hassan bukan hanya belajar, akan tetapi juga berusaha mengaplikasikan pengalaman yang ia peroleh sebelumnya, maka terjadilah konfigurasi kekuatan antara pemikiaran A.Hassan yang progresif dengan sifat Persis yang waktu itu tergolong keras. Kekuatan tersebut berubah menjadi gerakan pembaruan yang mudah meluas.



A. Hassan merupakan tokoh yang amat gigih dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman di masanya. Gagasan dan pemikirannya banyak ditulis dalam karya-karyanya yang tidak kurang dari delapan puluh judul. Beliau merupakan penulis tafsir pertama di Indonesia.

A. Hassan banyak bergerak lewat media diskusi, mengadakan tabligh, mengadakan kursus pendidikan, mendirikan pesantren, menerbitkan berbagai buku serta majalah. Distribusi cetakan-cetakan Persis semakin membuat pemikiran A.Hassan begitu populis di kalangan masyarakat. Selain bermain pada wilayah tulisan, A.Hassan juga banyak bermain dalam lingkup diskusi atau perdebatan.



Dalam berdakwah, A. Hassan seringkali menggunakan metode debat tentang segala sesuatu yang terkait dengan problem keagamaan. Cara tersebut memberikan kepuasan tersendiri di setiap kalangan masyarakat yang mengikuti acara tersebut. Akhirnya nama A.Hassan populer dan tersiar ke berbagai peloksok dan memperkuat lembaga dan organisasi Persis sebagai gerakan Islam progresif.



A. Hassan banyak menelorkan tokoh kenamaan di Indonesia, khususnya di tubuh Persis. Tokoh-tokoh Persis yang merupakan didikan A. Hassan, antara lain Muhammad Natsir, seorang tokoh dan pemimpin Masyumi, M. Isa Ansyari, Endang Abdurahman dan Rusyad Nurdin[1]



2. Biografi A.Hassan

Ahmad Hassan lahir di Singapura pada tahun 1887. Ayahnya bernama Sinna Vappu Maricar berasal dari India yang kemudian dikenal dengan nama Islamnya Ahmad. Ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat, Madras. Keduanya menikah di Surabaya kemudian menetap di Singapura[2]. Ahmad Hassan merupakan nama yang dipengaruhi oleh budaya Singapura. Nama aslinya adalah Hassan bin Ahmad, namun karena mengikuti kelaziman budaya Melayu yang meletakkan nama keluarga atau orang tua di depan nama asli, akhirnya nama Hassan bin Ahmad berubah menjadi Ahmad Hassan[3].



A. Hassan menikah pada tahun 1911 M. dengan Maryam peranakan Melayu-Tamil di Singapura. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; (1) Abdul Qadir, (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) Muhammad Sa‘id, (7) Manshur[4].



A. Hassan belajar al-Qur’an pada umur sekitar tujuh tahun, kemudian masuk di Sekolah Melayu. Ayahnya sangat menekankan agar Hassan mendalami bahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil di samping pelajaran-pelajaran lain[5].



Guru-gurunya antara lain adalah H. Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di Minto Road. Walaupun kedua gurunya ini bukanlah seorang alim besar namun untuk ukuran daerahnya keduanya cukup disegani dan dihormati. Kepada Muhammad Thaib, Hassan belajar nahwu dan sharaf, namun kira-kira empat bulan kemudian, ia merasa tidak memiliki kemajuan, karena hanya menghafal saja tanpa dimengerti, semangat belajarnya pun menurun. Dalam keadaan seperti itu, untunglah gurunya naik haji. Akhirnya, A. Hassan beralih belajar bahasa Arab kepada Said Abdullah al-Musawi sekitar kurang lebih tiga tahun. Selain itu, A. Hassan belajar kepada Syeikh Hassan al-Malabary dan Syeikh Ibrahim al-Hind. Semuanya ditempuh hingga kira-kira tahun 1910 M., ketika ia berumur 23 tahun. Walaupun pada masa ini A. Hassan belum memiliki pengetahuan yang luas tentang tafsir, fiqh, fara‘id, manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya, namun dengan ilmu alat yang ia miliki itulah yang kemudian mengantarkannya memperdalam pengetahuan dan pemahaman terhadap agama secara otodidak[6]



Sekitar tahun 1912 M.-1913 M., Hassan bekerja sebagai dewan redaksi “Utusan Melayu” yang diterbitkan oleh Singapore Press, dalam surat kabar ini, Hassan banyak menulis tentang masalah agama seputar nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik dan mencegah kejahatan yang kebanyakannya dalam bentuk syair. Ia pernah menulis, mengecam qadhi yang memeriksa perkara dalam ruang sidang dengan mengumpulkan tempat duduk antara pria dan wanita (ikhtil?th). Bahkan pernah dalam salah satu pidatonya mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga karena sebab itu ia tidak diperkenankan menyampaikan pidato lagi.



Pada tahun 1921 M., A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa Timur) untuk berdagang dan mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya, namun sebelum A. Hassan berangkat, pamannya berpesan agar sesampainya nanti di Surabaya ia tidak bergaul dengan seseorang yang bernama Faqih Hasyim karena dianggap sesat dan berfaham Wahhabi[7].



Pada tahun 1924 M., A. Hassan berangkat ke Bandung untuk mempelajari pertenunan, di sinilah ia berkenalan dengan tokoh pendiri organisasi PERSIS (Persatuan Islam), yang kemudian A. Hassan diangkat menjadi guru Persatuan Islam[8]. Karena seluruh waktunya dapat dikatakan untuk urusan Persis yang berkembang di Bandung ini, akhirnya A. Hassan terkenal dengan sebutan Ahmad Hassan Bandung[9].



A. Hassan adalah seorang sosok yang otodidak, karena pendidikan formal yang dilaluinya hanya di Sekolah Melayu. Walaupun demikian, ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Tamil, dan Melayu yang dapat digunakan olehnya dalam pengembaraan intelektualnya. Pada masa itu, ia telah membaca majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, majalah Al-Imam yang diterbitkan oleh ulama-ulama Kaum Muda di Minangkabau. Selain itu, A. Hassan telah mengkaji kitab Al-Kafa‘ah karya Ahmad al-Syurkati, Bidayat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Zad al-Ma‘ad karya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Nayl al-Awthar karya Muhammad Ali al-Syawkaniy, dan Subul al-Salam karya al-Shan‘aniy. Semua bacaan-bacaan itu, cukup mempengaruhi corak berfikirnya[10].



Pergaulan A. Hassan pun cukup luas, di antara sahabat-sahabatnya adalah Faqih Hasyim, Ahmad Syurkatiy, H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mas Mansur, H. Munawar Chalil, Soekarno, Muhammad Maksum, Mahmud Aziz, dan lain-lain.

A.Hassan pernah menjadi guru spiritual Sukarno ketika mengalami pembuangan di Plores, sehingga Sukarno dapat memahami konsep keislaman dan merasa ketagihan dengan gagasan-gagasan progresif yang dimiliki A.Hassan[11].



Pada tahun 1940 M., A. Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan mendirikan Pesantren Persatuan Islam Bangil, ia tetap mengajar dan menulis di majalah Himayat al-Islam yang diterbitkannya hingga wafat pada 10 Nopember 1958 M. dan dimakamkan di Pekuburan Segok, Bangil.



Dari madrasah A. Hassan, muncul Abdul Qadir Hassan sebagai pewaris keilmuannya, dilanjutkan oleh kedua cucunya, Ghazie Abdul Qadir Hassan, Hud Abdullah Musa, Luthfie ‘Abdullah Isma’?l, selain itu murid-murid Abdul Qadir yang mewarisi keilmuannya antara lain; Aliga Ramli, Ahmad Husnan, Muhammad Haqqiy, dan masih banyak yang lain.



A. Hassan adalah salah seorang tokoh pemikir yang produktif menuliskan ide-idenya baik di majalah-majalah maupun dalam bentuk buku. Karya-karya tulisnya, antara lain:

1. Dalam bidang Al-Qur‘an dan Tafsir: Tafsir Al-Furqan, Tafsir Al-Hidayah, Tafsir Surah Yasin, dan Kitab Tajwid.

2. Dalam bidang Hadis, Fiqh, dan Ushul Fiqh: Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama, Risalah Kudung, Pengajaran Shalat, Risalah Al-Fatihah, Risalah Haji, Risalah Zakat, Risalah Riba, Risalah Ijma‘, Risalah Qiyas, Risalah Madzhab, Risalah Taqlid, Al-Jawahir, Al-Burhan, Risalah Jum‘at, Hafalan, Tarjamah Bulug al-Maram, Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushul Fiqh, Ringkasan Islam, dan Al-Fara‘idh.

3. Dalam bidang Akhlaq: Hai Cucuku, Hai Putraku, Hai Putriku, Kesopanan Tinggi Secara Islam.

4. Dalam bidang Kristologi: Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Bibel Lawan Bibel, Benarkah Isa Disalib?, Isa dan Agamanya.

5. Dalam bidang Aqidah, Pemikiran Islam, dan Umum: Islam dan Kebangsaan, Pemerintahan Cara Islam, Adakah Tuhan?, Membudakkan Pengertian Islam, What is Islam?, ABC Politik, Merebut Kekuasaan, Risalah Ahmadiyah, Topeng Dajjal, Al-Tauhid, Al-Iman, Hikmat dan Kilat, An-Nubuwwah, Al-‘Aqa’id, al-Munazharah, Surat-surat Islam dari Endeh, Is Muhammad a True Prophet?

6. Dalam bidang Sejarah: Al-Mukhtar, Sejarah Isra‘ Mi’raj,

7. Dalam bidang Bahasa dan Kata Hikmat: Kamus Rampaian, Kamus Persamaan, Syair, First Step Before Learning English, Al-Hikam, Special Dictionary, Al-Nahwu, Kitab Tashrif, Kamus Al-Bayan, dan lain-lain[12].



3. Pemikiran A. Hassan Tentang Hukum (Metode Istinbat al-Hukm)

A. Hassan berpendapat bahwa Allah swt. telah menetapkan aturan-aturan dan pola-pola standar yang dikenal manusia sebagai hukum. Hukum agama (syariat) mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan memerintahkan manusia untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dan menjauhi tindakan-tindakan lainnya. Tujuan dari hukum agama adalah menguraikan perintah dan kehendak Tuhan agar manusia dapat melaksanakannya, karena tanpa hukum agama, tidak akan ada cara yang riil untuk mengetahui apa yang Allah perintahkan kepada manusia. Karena alasan inilah Allah memberi manusia hukum agama dalam bentuk Alquran dan Hadis sebagai petunjuk dan tuntunan[13].



Selain klasifikasi umum tentang seluruh tindakan manusia, hukum agama juga membahas soal ibadah, perkara-perkara duniawi dan tingkah laku personal. Dalam soal ibadah, hukum agama mengatur sebagian besar ritual dan aturan peribadatan, semisal shalat, puasa, upacara penguburan, akikah dan qurban, bahkan persoalan-persoalan ibadah ini merupakan bagian terbesar dari hukum agama, karena terkait dengan kaidah dan aturan-aturan yang tidak dapat diambil dari penalaran manusia, melainkan hanya dari wahyu.



A. Hassan membagi aspek-aspek duniawi hukum agama kedalam dua bagian, yaitu yang pertama berkaitan dengan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kaum muslim sendiri seperti nikah, sedekah, waris, hukum makanan, berjuang mempertahankan agama dan sejenisnya. Hukum-hukum ini tidak mengikat non muslim yang tinggal di wilayah muslim. Bagian kedua adalah yang mengikat muslim dan non muslim yang tinggal di wilayah muslim seperti perdagangan, hubungan kerja, kontrak, perjanjian damai, upah, perhimpunan, perwakilan hukum, jaminan, keamanan, kebangkrutan dan persoalan-persoalan hukum lainnya yang secara umum dianggap sebagai masalah kewarganegaraan. Hukum agama juga menyediakan hukum pidana dengan menjelaskan cara serta jumlah hukuman untuk kejahatan-kejahatan seperti penganiayaan, pembunuhan, penipuan, fitnah, mabuk-mabukan dan perzinaan[14].



A. Hassan menyimpulkan bahwa pelaksanaan yang benar atas hukum agama adalah hal penting karena dapat membedakan antara orang beriman dari orang kafir, dari para pendosa dan dari orang-orang munafik.



A. Hassan menjelaskan bahwa selain diatur oleh hukum agama, manusia juga diatur oleh hukum-hukum alam yang dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum yang bisa diterima oleh nalar dan yang diterima oleh adat kebiasaan. Dua klasifikasi hukum alam ini terkait dengan ketundukan manusia pada kejadian alam. A. Hassan tidak memberikan pedoman untuk berurusan dengan hukum ini, agaknya beliau bermaksud menunjukkan bahwa hukum ini tidak lain harus dipatuhi dan pada umumnya manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikannya.



Kemudian A. Hassan mengungkapkan tentang hukum buatan yakni jenis hukum yang digunakan oleh berbagai bangsa, masyarakat, organisasi, rumah tangga termasuk hukum adat. Hukum ini merupakan hukum yang diciptakan menurut kebutuhan dan mengikat seluruh anggota kelompok yang meyakini hukum itu sebagai hukum sah. Tidak seperti hukum agama, persoalan-persoalan adat bisa saja diubah, ditambah atau dikurangi menurut kehendak komunitas yang bersangkutan[15].



Dalam ibadah, yaitu ibadah ritual, tidak boleh ada penyimpangan, penambahan atau pengurangan atas aturan dan isinya yang benar sebagaimana ditetapkan dalam Alquran dan Hadis. Allah telah menyempurnakan agama dan tidak ada inovasi dalam hal ibadah.



Tentang perkara-perkara keduniaan yang diatur oleh hukum agama, A. Hassan menyatakan bahwa ada ruang bagi perubahan dalam pelaksanaan hukum-hukum yang bersifat khusus, tetapi hukum itu sendiri tidak tunduk kepada perubahan. Contohnya perintah berupa kewajiban untuk belajar, memberi bantuan dan berjuang adalah perintah-perintah ibadah, tetapi pelaksanaan aktualnya hanya bisa dilakukan melalui adat, yaitu cara yang bisa saja berubah seiring dengan perubahan waktu dan kebutuhan sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia di muka bumi ini[16].



Karenanya, meskipun manusia pada umumnya bebas untuk mengubah hukum buatan, yaitu aturan-aturan sosial dan politik, A. Hassan mengingatkan agar hukum-hukum itu tidak bertentangan dengan hukum agama yang telah meletakkan aturan-aturan minimum bagi pelaksanaan berbagai urusan manusia secara tepat. Barang siapa yang tidak memberi tempat yang layak bagi hukum agama maka dia adalah orang kafir, penjahat dan pendosa baik di dunia maupun di akhirat. Seseorang dianggap kafir jika dia meyakini bahwa ada hukum lain yang lebih baik dari pada hukum Allah, dianggap sesat jika membuat hukum yang tidak sesuai dan bertentangan dengan hukum agama dan dianggap berdosa jika dia mengetahui keberadaan hukum Allah tentang perkara tertentu, akan tetapi dia memberikan keputusan dengan hukum-hukum yang tidak diwahyukan Allah.



Bagi A. Hassan Alquran dan hadis memiliki arti yang sangat penting karena kedua sumber ini mempresentasikan Islam dalam bentuknya yang murni dan dalam bentuk itulah Islam dapat diadaptasi ke berbagai kondisi dan konsep yang berlaku di dunia modern. Oleh karena itu beliau sangat menekankan penggunaan Alquran dan Hadis dalam memberikan bukti-bukti bagi kebenaran pandangannya tentang masalah-masalah keagamaan, sosial, ekonomi dan politik.



4. Pemikiran Hukum A. Hassan Terhadap Kepercayaan-Kepercayaan Umum Dalam Masyarakat Indonesia.

Adalah alami bila dalam mencari sebuah Islam “murni” yang bebas dari bid’ah, A. Hassan menentang elemen-elemen kehidupan masyarakat yang diyakini bertentangan dengan hukum Islam, antara lain :



a. Makanan Ritual/Kenduri

Dalam salah satu fatwa yang diberi judul “ Kenduri Untuk Kehamilan” A. Hassan menyatakan, sejak pembuahan hingga kelahiran, tidak ada jenis perayaan tertentu yang diperintahkan oleh agama, baik itu yang disebut kenduri, slametan, pesta maupun perjamuan. Beliau menyatakan bahwa Islam memerintahkan diselenggarakannya perayaan pada saat pernikahan (walimatul ursyi), praktik pembacaan doa-doa dan syahadat dalam berbagai macam peristiwa semacam ini bukan merupakan bagian dari ibadah dan tidak seharusnya dilakukan. Fatwa A. Hassan juga menyatakan bahwa pada hari ketujuh setelah kelahiran seorang anak, kaum muslimin diperintahkan untuk melakukan akikah, memberi nama untuknya dan kemudian membagi-bagikan hewan yang disembelih itu untuk para kerabat dan tetangga. Di dalam persoalan ini, tidak pernah ada pembacaan doa apapun[17].



A. Hassan menentang perayaan yang diselenggarakan di rumah pada pagi hari saat terjadi penguburan dan pada beberapa hari berikutnya untuk membacakan doa-doa tertentu dengan maksud menebus dosa si jenazah. Praktik yang biasanya dilakukan di Indonesia adalah berkumpul di rumah keluarga almarhum pada saat selesai upacara penguburan, kemudian pada hari kesatu sampai dengan hari ketujuh, hari keseratus dan hari keseribu setelah kematian[18]. Penalaran untuk praktik ini adalah bahwa pahala dapat diperoleh oleh mereka yang hadir melalui pelaksanaan ibadah sunnah seperti pembacaan zikir, membaca ayat atau surah tertentu dari Alquran, dan doa-doa khusus, dan bahwa pahala dapat diperoleh dan karenanya dapat dilimpahkan kepada almarhum sebagai pahalanya[19]. Dengan menggunakan kias, dinalarkan bahwa persoalan-persoalan kebajikan agama dapat ditransfer kepada orang lain.



A. Hassan menolak pandangan bahwa pahala yang diperoleh seorang muslim dalam kondisi tertentu dapat ditransfer kepada muslim yang lain terutama kepada orang yang sudah meninggal dunia. Beliau menyatakan bahwa tidak ada rujukan yang jelas dalam Alquran dan Hadis mengenai hal ini dan juga ditegaskan bahwa agar praktik ibadah keagamaan tertentu bisa mendatangkan pahala harus didefinisikan dalam sumber-sumber tertentu. Tidak ada serangkaian prosedur peribadatan yang digambarkan untuk pelaksanaan kenduri di rumah duka, maka tindakan semacam ini tidak bisa dianggap mendatangkan pahala bagi mereka yang melakukan praktik tersebut. A. Hassan berhujjah bahwa jika pahala dapat dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal, mengapa tidak dikirimkan saja kepada orang yang masih hidup, sedangkan dalam QS. Al-Najm : 39 dan Yasin : 54 yang kedua ayat tersebut merujuk pada penilaian Allah hanya didasarkan pada perbuatan yang telah dilakukan oleh masing-masing individu[20].



A. Hassan menyatakan bahwa Alquran dan Hadis tidak memerintahkan kaum muslim untuk terlibat dalam praktik doa dan pembacaan teks-teks keagamaan pada upacara kenduri dan bahwa hal ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, tabiin dan tabiit tabiin atau ulama besar manapun yang mendirikan mazhab-mazhab hukum, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.



b. Wasilah Dan Pemujaan Wali

Dalam At-Tauhid, A.Hassan menyatakan bahwa Alquran dan Hadis memerintahkan agar doa ditujukan secara langsung kepada Tuhan tanpa rumusan apapun seperti dengan syafaat Nabi (memakai wasilah)[21]. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup, para sahabat meminta beliau agar berdoa untuk mereka, tetapi setelah Nabi wafat, para sahabat tidak pernah meminta kepada roh beliau atau di kuburan beliau[22] untuk melaksanakan pungsi ini. Bagaimanapun, praktik yang sebenarnya di kalangan para sahabat adalah meminta seorang anggota terkemuka dari kelompok mereka untuk mendoakan mereka dan bahwa anggota yang ditunjuk itu berdoa langsung kepada Allah dan tidak pernah meminta Nabi sebagai perantara (wasilah).



Menurut A. Hassan, dua klarifikasi ini, yaitu larangan sesungguhnya atas wasilah dari Alquran dan Hadis serta ketiadaannya diantara para sahabat—juga menjelaskan persoalan wasialh dengan menggunakan para wali. Wasilah telah menggoda manusia selama berabad-abad dan bahwa para ulama telah secara terus-menerus menegaskan bahwa wasilah tidak diperbolehkan dalam Islam. Meskipun terdapat elaborasi yang berkelanjutan semacam ini, banyak muslim yang tetap cenderung berkeyakinan bahwa wasilah mungkin saja absah. A. Hassan sepakat dengan ijmak ulama dan mengungkapkan bahwa kepercayaan yang luas terhadap wasilah dapat menciptakan kembali kondisi-kondisi yang ada di Arabia sebelum kedatangan Islam. Pada saat itu, umat manusia membangun berhala-berhala agar menjadi perantara mereka dengan Tuhan dan kemudian beralih menyembah berhala-berhala itu sendiri[23].



Meskipun mengecam praktik wasilah, A. Hassan menyatakan bahwa ziarah kubur diperbolehkan bagi kaum muslim selama dilakukan sesuai dengan aturan-aturan perilaku muslim yang standar. Dia menggambarkan bahwa tujuan ziarah kubur adalah untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia dan mengingat akan kehidupan akhirat. Dia menyatakan bahwa doa di kuburan seharusnya tidak ditujukan untuk membantu muslim tertentu yang sudah meninggal dunia, tetapi seharusnya menjadi bagian doa umum dan harus ditujukan untuk memintakan rahmat Tuhan bagi seluruh muslim yang telah meninggal dunia. A. Hassan menentang bid’ah dan memperingatkan kaum muslim untuk tidak terikat dengan jadwal tertentu dalam melaksanakan ziarah kubur. Dia juga memperingatkan umat Islam untuk menghindari ziarah ke kuburan-kuburan tertentu, dengan alasan bahwa hadis sahih tidak menggambarkan atau mendefinisikan prosedur yang pasti mengenai hal tersebut[24].



Dari Pemikiran A.Hassan di atas dapat dinyatakan A.Hassan memiliki pandangan bahwa Islam merupakan kebenaran tunggal yang tidak bisa diotak atik. Beliau sangat menolak praktik-praktik ritual atau tradisi lokal, sebab hal tersebut dikatagorikan sebagai bagian dari bid’ah, takhayyul, khurafat dan syirik yang bertentangan dengan Islam. Padahal ritual merupakan praktik yang dilakukan sebagai ekspresi pemahaman tentang Alquran dan hadis.



5. Pemikiran Hukum A. Hassan Terhadap Kelompok Islam Tradisionalis

A. Hassan dalam perdebatan-perdebatan yang dilakukannya dengan para pemimpin muslim tradisionalis pada era 1930-an menentang Islam tradisonalis sebagai sebuah masalah bagi kesehatan umat Islam dengan menyebutnya ketinggalan zaman, tidak mampu menyesuaikan diri dengan cara-cara berfikir baru dan keras kepala dalam menentang upaya-upaya pembaruan fundamental.



A. Hassan dengan didukung oleh beberapa penulis lainnya, memberikan pandangan mendasar dan kerangka teoritik mengenai hal-hal yang terkait dengan kelompok tradisionalis.



a. Talkin

Talkin pada saat penguburan merupakan ritual yang tidak bermanfaat sehingga kaum muslim harus meninggalkannya. Dalam praktik ini, seseorang membacakan seluruh doktrin terpenting Islam sedemikian rupa sehingga almarhum akan siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para malaikat yang dikirim untuk menanyakannya.



Dalam salah satu fatwa mengenai persoalan ini, A. Hassan menyatakan Talkin tidak ada dalam Alquran, juga tidah dikukuhkan oleh hadis dan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tidak pula disebutkan sebagai upacara yang absah oleh satupun dari empat pendiri mazhab fiqh[25]. Dia menyatakan bahwa seluruh hadis yang diperkenalkan oleh kelompok-kelompok tradisionalis untuk mendukung pandangan mereka adalah dhaif jika diuji menurut aturan-aturan ilmu hadis. Oleh karena itu tidak boleh dipakai dasar hukum bagi praktik keagamaan.

Dalam fatwa kedua A.Hassan menyatakan dengan jelas beberapa prinsip yang berkaitan dengan maslah talkin ini, yaitu :

1. Alquran menjelaskan bahwa orang yang sudah meninggal dunia tidak dapat diajari apapun.
2. Ulama bidang pengumpulan dan pengujian hadis menyatakan bahwa tidak ada satupun hadis sahih yang menjadi dasar hukum talkin.
3. Mengajar orang sudah meninggal dunia bukan hanya ditolak oleh agama, bahkan menurut nalar, hal itu dapat dianggap sebagai tindakan orang gila.
4. Menurut dalil naqli, ketika seorang sekarat maka taubatnya tidak akan diterima, maka bagaimana mungkin ajaran-ajaran dari seseorang yang masih hidup kepada seseorang sudah meninggal di kuburan memiliki keabsahan[26].

A. Hassan mengutip QS. Al-Naml :80 dan Fathir :22 yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat menjadikan orang-orang yang sudah di dalam kubur mendengar, sebagi bukti bahwa mayat hanya dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para malaikat berdasarkan amal mereka ketika hidup di dunia. Orang yang sudah meninggal tidak dapat diajari atau diingatkan tentang ajaran keagamaan apapun.



b. Pengucapan Niat Pada Permulaan Shalat

A. Hassan menyatakan bahwa membaca niat sebelum memulai shalat lima waktu hanya diperbolehkan oleh sebagian ulama mazhab Syafi’i, tetapi Imam Syafi’i sendiri tidak pernah melakukan praktik tersebut. A. Hassan menyerang argumen yang menyatakan bahwa pengucapan niat dapat membantu kekhusuan karena menyatukan hati dengan bibir, beliau menyatakan bahwa hatilah yang menggerakkan bibir, bukannya bibir yang menggerakkan hati[27].



A. Hassan juga menolak argumen bahwa pembacaan niat dibenarkan dengan qiyas dari contoh Nabi Muhammad yang mengulangi niat ketika melaksanakan ibadah haji. Alasannya adalah bahwa hadis yang melaporkan tindakan Nabi tersebut adalah dhaif dan bahwa qiyas, meskipun absah di beberapa bidang pemikiran hukum selain soal aqidah dan ibadah karena tidak ada qiyas dalam ibadah, ibadah hanya dapat ditetapkan berdasarkan Alquran dan Hadis[28].

Dari pemikiran-pemikiran A.Hassan di atas didasarkan pada pandangan beliau bahwa kebenaran Islam akan tercapai ketika paradigma ummat dikembalikan kepada Alquran dan Hadis. Praktik keagamaan yang didasarkan pada akar budaya seperti ushalli, tahlil, dzibaan al- barjanji dan talqin dikatagorikan sebagai bagian dari bid’ah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.



6. Pemikiran Hukum A.Hassan Bidang Ekonomi (Riba, Bunga Bank)

Dalam hubungannya dengan hukum riba dan praktik perekonomian modern yang berkembang, A.Hassan memandang hal tersebut sah asalkan tidak berlipat ganda. Keuntungan yang diambil dalam praktik perbankan dan lembaga ekonomi modern pada umumnya dapat diterima akal sehat dan tidak termasuk kategori berlipat ganda. Kecaman Nabi dalam praktik riba adalah kontrol terhadap praktik perekonomian agar tidak menyimpang dari batasan-batasan syariat agama.



Selaras dengan pemikiran muslim modernis di dunia Arab, A.Hassan melihat lembaga-lembaga keuangan yang ada sesuai dengan Islam. A. Hassan mendefinisikan riba hanya sebagai keuntungan yang berlebihan dan menyatakan bahwa bunga yang diperoleh dari bank dan koperasi adalah layak dan tidak seharusnya dianggap riba. Dalam sebuah fatwa tentang koperasi dinyatakan bahwa pemberlakuan aturan tentang riba kemungkinan besar disebabkan oleh praktik yang lazim di Arabia pra-Islam, jumlah bunga yang berlipat ganda diminta ketika memperpanjang jangka waktu peminjaman. Jumlah seratus dirham menjadi dua ratus dirham dan seterusnya, hingga beberapa kali lipat[29]. Fatwa tersebut mengungkapkan bahwa praktik semacam ini dapat dengan mudah menimbulkan hilangnya kekayaan yang luar biasa besar di pihak peminjam. Dan karena menilai bahwa kehilangan semacam ini tidak adil, Nabi melarang praktik-praktik semacam ini.



Fatwa yang berjudul “Mengembalikan Jumlah Yang Lebih Besar Daripada Yang Dipinjam”, fatwa ini menentang tentang kesahihan hadis yang digunakan oleh kelompok-kelompok muslim tradisionalis untuk mendukung pandangan tentang riba. Hadis itu menyatakan bahwa pengembalian pinjaman berupa benih padi adalah dengan padi yang sama tanpa ada penambahan, dan bahwa hal itu tidak ada kaitannya dengan masa depan (yaitu keberhasilan panen berikutnya). Hadis itu tidak sahih sebab syarat-syaratnya tidak mungkin dipenuhi, karena seseorang yang meminjam benih padi tidak mungkin dapat mengembalikan benih padi yang sama setelah panen berikutnya. Fatwa ini juga menolak hadis-hadis lain yang diajukan oleh kelompok muslim tradisionalis sebagai dasar pandangan mereka tentang riba, karena hadis-hadis itu bertentangan antara satu dengan lainnya[30].



Kaum muslim diperbolehkan menggunakan bank-bank modern dan menerima bunga yang diberikan bank-bank itu atas tabungan mereka. Seorang muslim dianggap lalai terhadap kewajiban-kewajibannya jika tidak mau menerima bunga dari bank, dan menyatakan bahwa jika seseorang menganggap bunga bank itu tidak bersih, maka biarkanlah dia memberikannya ke panti asuhan atau sekolah[31].



Dari pemikiran di atas, A.Hassan menyerukan tajdid (pembaruan) terhadap praktik sosial keagamaan lama yang dianggap telah menyimpang dan mengarah kepada kemunduran karena telah terjadi kesalahan persepsi dalam memahami ayat-ayat riba dan kekeliruan dalam mensahihkan hadis-hadis tentang riba, oleh karena itu harus diperbarui dengan kembali kepada petunjuk Alquran dan Hadis secara benar.



7. Penutup

A. Hassan memiliki karakter pemikir pembaharu (mujaddid) yang banyak menentang praktik keagamaan tradisional.



Melihat apa yang dibaca serta gagasan dan pemikirannya, jelas sekali bahwa A.Hassan dipengaruhi oleh pemikiran gerakan salafi. Yang dimaksud dengan gerakan salafi adalah gerakan dan pemikiran yang menyandarkan seluruh gagasannya pada Alquran dan Hadis atau disebut dengan ahlul hadis.



A. Hassan sebagai pioner Persis menganggap bahwa ulama tradisional telah meninggalkan Alquran dan Hadis dan telah melakukan penafsiran-penafsiran dan penentuan hukum secara tidak benar. Kesalahan dalam penggunaan dasar hukum Islam tersebut telah mengakibatkan banyaknya praktik keagamaan yang mengandung bid’ah dan mulhidah (sesat), khususnya dalam amal ibadah.



Bagi A.Hassan, Alquran dan Hadis merupakan pijakan cara beragama Islam yang kaffah, sempurna. Dalam kedua sumber hukum tersebut juga tersimpan seluruh aturan agama yang terkait dengan konsep muamalah dan jinayah. Sehingga Alquran dan Hadis merupakan sebuah paketan konstitusi dari Tuhan yang siap digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat.

A. Hassan merupakan ideolog Persis yang paling keras, radikal dan paling berpengaruh. Dia bahkan berhasil menentukan karakter dan identitas pemikiran Persis di hadapan organisasi keislaman lain.



DAFTAR PUSTAKA

A. Hassan, At-Tauhid, Bangil: 1941.

A. Hassan, Pemerintahan Cara Islam, Toko Timoer, 1946.

A. Hassan, Soal Jawab Jilid I s.d. XIII

Dadan Wildan, Yang Dai Yang Politis : Hayat Perjuangan Lima Tokoh Persis, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1977.

Howard M. Federspiel, Persatuan Islam : Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1996

Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim; Pencarian dan Pergulatan Persis di Era kemunculan Negara Indonesia (1923-1957), Jakarta : Serambi, 2004

M. Mukhsin Jamil, dkk. Nalar Islam Nusantara; Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persisi dan NU, Cirebon : Fahmina Instute, 2008

Nina M Armando, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Reuben Levy, The Social Structure of Islam, Cambridge, 1957.

Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung : Pemikir Islam Radikal, PT. Bina Ilmu, 1994.

Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jakarta, 1972

Tamar Jaya, “Riwayat Hidup A. Hassan”, dalam A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001 M

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar