Laman


Design awesome banner
 ads like this one FREE at AdDesigner.com

Jumat, 18 Februari 2011

BULUGH AL-MARAM

  1. Kenapa Thoharoh didahulukan
Ash-Shon'ani mengemukakan alasan kenapa Ibnu Hajar memulai kitabnya dengan thoharoh, yaitu sebagai berikut :
  1. Sebagai bentuk ittiba’ (mengikuti) terhadap tradisi para penyusun kitab fiqih
  2. Lebih mendahulukan urusan-urusan agama daripada urusan yang lain
  3. Karena terkait dengan urusan yang paling penting yaitu sholat, ketika thoharoh merupakan salah satu syarat shalat maka penyusun memulai dengan thoharoh.
Terkait dengan hal ini, Wahbah Zuhaili1 menegaskan bahwa syarat itu harus didahulukan daripada masyruth (yang disyaratkan). Terkait dengan hal ini Rasul bersabda: “Pembuka shalat adalah bersuci, haramnya adalah takbir, dan halalnya adalah salam”2. Dalam hadits lain “Bersuci itu bagian dari Iman”3.

  1. Pengertian Istilah-istilah Fiqih
  1. Kitab
Ibnu Hajar4 dan Asyaukani5 menjelaskan bahwa dalam kajian fiqih, istilah kitab digunakan para ulama untuk menunjukan kumpulan sesuatu yang mencakup beberapa bab dan pasal. Sementara itu al-Hifnawi6 mempertegas bahwa yang dimaksud "sesuatu" itu adalah kumpulan ilmu tertentu. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kitab dalam kajian fiqih itu adalah kumpulan ilmu tertentu yang mencakup beberapa bab dan pasal.
  1. Thaharah
Secara bahasa thoharoh adalah bersih dan suci dari kotoran-kotoran baik itu secara hissi seperti najis ataupun secara ma’nawi seperti kejelekan dan dosa7. Sementara itu Aroghib8 memberikan istilah lain, menurutnya thoharoh itu terbagi kepada dua, yaitu thoharoh jism dan thoharoh nafs. Selanjutnya beliau menegaskan bahwa keumuman ayat al-Quran thoharoh itu mencakup dua hal tersebut. Dari pengertian ini kita dapat menyimpulkan bahwa thoharoh secara bahasa terbagi kepada dua yaitu thoharoh hissi atau thoharoh jism dan thoharoh ma’nawi atau thoharoh nafs. Asyaukani9 mencata bahwa lafadz thoharoh ini bisa dari mashdar yang fi’il lazimnya thoharo yang artinya sifat suci yang melekat pada sesuatu, bisa dari mashdar thohharo (fi’il muta’adi) yang artinya kesucian yang dapat mensucikan terhadap yang lain dan bisa juga isim mashdar yaitu tathhir.
Ada beberapa ungkapan yang berkaitan dengan thoharoh ini, yaitu :
  • Thuhur : perbuatan bersuci
  • Thohur : air yang digunakan untuk bersuci.
  • Tiharoh yang bermakna sesuatu yang digunakan untuk bersuci berupa air atau yang lainnya dan
  • Thuharoh yaitu bekas air setelah digunakan bersuci.
Secara istilah syara', Al-Jurjani10 mendefinisikan thoharoh yaitu ungkapan tentang membasuh anggota tertentu dengan sifat tertentu. Ashon'ani11 menjelaskan, hakikat thoharoh adalah penggunaan dua muthohhir (dua hal yang mensucikan) yaitu air, tanah atau salah satu diantara keduanya dengan sifat yang disyari’atkan untuk menghilangkan najis dan hadats.
  1. Bab
Menurut bahasa bab adalah tempat untuk masuk dan keluar, sedangkan menurut istilah dalam kitab ini adalah kata kiasan. Pengertian menyelami sesebuah permasalahan khusus diserupakan dengan mema suki tempat yang bersifat inderawi, kemudian digunakan perkataan الباب (pintu) yang bermaksud nama sebuah himpunan permasalahan ilmiah, memandangkan adanya kaitan tertentu antara kedua-dua pengertian ter sebut.
  1. Miyah
Dalam kajian fiqih lafadz miyah (air-air) dijama', untuk menunjukan bahwa air itu berbeda jenisnya12. Dilihat dari hukumnya, Wahbah Zuhaili13 membagi air itu kepada tiga bagian, yaitu :
        1. Thohur (suci mensucikan) atau Air muthlaq
        2. Thohir Ghoir Muthohhir (suci tidak mensucikan), terbagi kepada tiga yaitu :
  • Air yang tercampuri oleh sesuatu yang suci seperti shabun dkk
  • Air musta'mal yang sedikit
  • Air tumbuhan dari bunga dan buah-buahan
        1. Mutanajjis
Sementara itu Sayyid Sabiq14 membagi air itu kepada :
              1. Air Muthlaq
              2. Air musta'mal
              3. Air yang tercampuri oleh sesuatu yang menajiskan
              4. Air yang tercampuri oleh najis

  1. Pembagian Thoharoh Syar'i
Wahabh Zuhaili15 mengklasifikasikan, secara syar’i thoharoh itu ada dua macam, yaitu :
  1. Thoharoh dari hadats yang dikhususkan bagi badan
Thoharoh dari hadats itu ada tiga macam, yaitu :
  • Kubro yaitu mandi
  • Sughro yaitu wudhu
  • Pengganti keduanya, ketika ada udzur yaitu tayammum
  1. Thoharoh dari khobats yaitu untuk badan, pakaian dan tempat.
Thoharoh dari khobats ada tiga macam, yaitu : mandi, mengusap dan menciprati
Maka thoharoh itu mencakup wudhu, mandi, menghilangkan najis, tayammum dan yang berkaitan dengannya.

  1. Abu Hurairoh
Orang yang meriwayatkan hadis ini ialah Abu Hurairah (r.a), nama aslinya adalah ‘Abdurrahman ibn Shakhr al-Yamani al-Dausi. Beliau masuk Islam pada tahun ke-7 Hijriah dan meriwayatkan sebanyak 5,374 hadis dan termasuk sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Beliau meninggal dunia pada tahun 59 Hijriah dengan usia 78 tahun dan dikebumikan di Madinah.
  1. Fiqih Hadits
  • Orang yang tidak mengetahui suatu permasalahan dikehendaki menanyakannya kepada orang yang berilmu.
  • Dibolehkan menggunakan laut sebagai alat pengangkutan meskipun bukan untuk tujuan ibadah, karena si pe nanya sudah terbiasa menggunakan jalan laut untuk menangkap ikan.
  • Apabila khuatir akan mengalami kehausan, dibolehkan tidak menggunakan air minum untuk bersuci kerana adanya pengakuan daripada Rasulullah (s.a.w) terhadap si penanya untuk menjimat air minum dan tidak menggunakannya untuk bersuci.
  • Air laut suci lagi menyucikan dengan pengertian dapat menghilangkan hadas dan dapat membersihkan najis atau kotoran. Ikan tidak perlu disembelih kerana syariat telah menghalalkan bangkainya sama dengan ikan haiwan laut yang lain.
  • Halal memakan bangkai haiwan laut yang hanya hidup di dalamnya.
  • Dibolehkan menjawab lebih banyak daripada pertanyaan yang diajukan bagi me nyempurnakan faedah dan untuk memberikan pengetahuan berkaitan perkara yang tidak ditanyakan.


1 Wahbah Zuhaili, jilid 1, hlm.200

2 Hadits shohih hasan ditakhrij oleh Abu Daud, Tirimidzi dan Ibnu Majah dari Ali bin Abi Thalib

3 Hadits shahih riwayat Muslim

4 Ibnu Hajar, Fath al-Baari, jiild 1, (Kairo : Dar al-Hadits, 2004), hlm.59.

5 As-Syaukani, Nail al-Author, jilid 1, (Kairo : Dar al-Hadits, 2005), hlm.27.

6 Muhammmad Ibrahim al-Hifnawi, Al-Umm, jilid 1, (Kairo : Dar al-Hadits, 2008), hlm.137

7 Al-Hifnawi, jilid 1, hlm 137

8 Aroghib al-Asfahani, Mu'jam Mufrodat Alfadz al-Quran, (Beirut : Dar Kutub al-'Ilmiah, 2008), hlm.344

9 Asyaukani, jilid 1, hlm 27

10 Ali bin Muhammad al-Jurjani, at-Ta'rifat, (Jeddah : Al-Haromain, 2001), hlm.138

11 Muhammad bin Isma'il as-Shon'ani, Subul as-Salam, (Beirut : Dar al-Fikr, 1991), hlm.13

12 Muhammad bin Isma'il as-Shon'ani, Subul as-Salam, (Beirut : Dar al-Fikr, 1991), hlm.13

13 Wahbah Zuhaili, jilid 1, hlm.226

14 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jilid 1(Maktabah Syamilah), hlm.17

15 A.D. Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid 1 (Suriyah : Dar al-Fikr, tt), hlm.201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar