AHKAM AL-SYAR’I
A. Pengertian
1). Menurut bahsa :
Ahkam adalah bentuk jamak’ dari hukm. Menurut bahasa, hukum adalah:
إِثْبَاتُ شَيْءٍ عَلَى شَيْءٍ أَوْ نَفْيُهِ عَنْهُ
Artinya : “Menetapkan sesuatu terhadap sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya”
2). Menurut Ishtilah :
اَلْحُكْمُ هُوَ : خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلَّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِينَ بِالاِقْتِضَاءِ أَوِ التَّخْيِيرِ
Artinya : "Hukum ialah keputusan Alah Swt. yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf (manusia yang dibebani tugas) dengan tuntutan atau pilihan, atau wad'iy (kejadian)" Tuhfatul ahadzi, IV : 460 dan At-Ta'arif, I : 291.
خِطَابُ الشَّارِعِ الْمُتَعَلَّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِينَ بِالاِقْتِضَاءِ أَوِ التَّخْيِيرِ أَوِ الْوَضْعِ
Artinya : "Tuntutan (Allah dan Rasulullah Saw.) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang bersifat tuntutan, pilihan, atau kejadian." Irsyadul Fuhul : 17 dan Ushul fiqh Al-Imam Muhamad Abu Zahrah : 26
B. Pembagian Hukum
Hukum ditetapkan sesuai dengan yang menetapkan. Ada yang ditentukan oleh agama, akal dan juga adat. Maka yang ditetapkan oleh Agama (Allah dan Rasul-Nya), itulah hukum Syara'. Hukum Syara' terbagi kepada dua, yaitu : Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i.
1). Hukum Taklifi ialah hukum yang mengandung thalab (tuntutan) atau takhyir (pilihan). Hukum taklifi ada lima macam, yaitu :
a. Ijab, hukum yang bersifat tuntutan yang keras untuk dilakukan dan perbuatannya disebut Wajib.
b. Nadb, hukum yang bersifat tuntutan yang tidak keras untuk dilakukan dan perbuatannya disebut Mandub;
c. Tahrim, hukum yang bersifat tuntutan agar ditinggalkan dengan tuntutan yang keras dan perbuatannya disebut Haram;
d. Karahah, hukum yang bersifat tuntutan agar ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak keras dan perbuatannya disebut Makruh;
e. Ibahah, hukum yang sifatnya pilihan, tidak dilarang untuk dilakukan dan atau ditinggalkan. Perbuatannya disebut Mubah, Halal atau Jaiz.
2). Adapun hukum wadh'i ialah hukum yang dikaitkan dengan adanya salah satu dari tiga macam aspek, yaitu :
a. Sabab (sebab) ialah yang adanya sesuatu memestikan adanya hukum dan tidak adanya (sesuatu tersebut) memestikan tidak adanya hukum. Seperti zina, yaitu adanya zina memestikan adanya hukum rajam dan tidak adanya zina memestikan tidak adanya hukum rajam. Demikian pula adanya sifat muskir (memabukkan) pada khomr memestikan haramnya khomr. Safar pada bulan Ramadan menjadi sebab bolehnya berbuka shaum, datangnya waktu salat memestikan wajibnya salat dan datangnya bulan Ramadan memestikan wajibnya shaum Ramadan. Kecuali ada mani' (penghalang).
b. Syarth (syarat) ialah yang tidak adanya sesuatu memestikan tidak adanya hukum, tetapi adanya sesuatu tersebut tidak memestikan adanya hukum itu. Seperti Thaharah (suci dari hadats), yaitu tidak adanya wudhu memestikan tidak adanya (sahnya) shalat, tetapi tidak setiap dalam keadaan suci dari hadats memestikan adanya shalat. Atau adanya menutup aurat syarat diaksanakannya salat, tetapi tidak memestikan adanya menutup aurat adanya kewajiban shalat
c. Mani' (penghalang) : ialah urusan syara' yang adanya menjadi penghalang tujuan dari sabab atau hukum menjadi tidak berlaku. Contoh adalah Al-qatl (pembunuhan) dan ikhtilafu al-din (perbedaan agama). Sebab adanya warits adalah pertalian nasab, qorobah (kekerabatan), nikah, atau memerdekakan hamba sahaya. Tetapi karena ahli waris membunuh murits (yang mewariskan) atau berbeda agama, maka menjadi terhalang dari mendapatkan waris. Demikian pula haid bagi perempuan menjadi penghalang kewajiban shalat dan shaum.
Dilihat dari hukum syara’, seluruh aspek kehidupan manusia tidak akan ada yang terlepas dari kelima hukum di atas. Para ulama dituntut untuk memberi kepastian hukum dalam semua perilaku kehidupan manusia, baik dalam persoalan–persoalan yang pernah terjadi dari semenjak zaman dahulu maupun persoalan–persoalan yang baru ada di zaman sekarang yang nantinya disebut ijtihad. Dan tentu saja akan berkaitan dengan masalah-masalah ibadah, maumalah, siyasah, dan masalah lainya.
Dalam masalah muamalah misalnya, donor darah, bayi tabung, transpalantasi, transeksual, lingkungan hidup, terorsime, bunuh diri melawan musuh, dan masalah–masalah kontemporer lainnya. Masalah seperti ini akan terus berkembang, selama dunia ini tegak. Problem kontemporer adalah problem umat yang senantiasa memerlukan penyelesaian secara syar’i.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar